ManusiaSenayan.id Publik sempat heboh soal tunjangan rumah anggota DPR yang nilainya Rp50 juta per bulan. Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, akhirnya buka suara. Menurutnya, skema tunjangan tunai jauh lebih efisien ketimbang fasilitas rumah dinas yang justru bikin negara tekor.

“Kalau dikasih fasilitas rumah, biayanya lebih besar. AC rusak, perabotan, dapur, gas, perawatan lain—semuanya membutuhkan anggaran yang tidak kecil. Makanya lebih efisien diberikan dalam bentuk tunjangan tunai,” ujar Sahroni saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan.

Ia mencontohkan, dengan jumlah anggota DPR mencapai 580 orang, biaya perawatan rumah dinas bisa bikin APBN megap-megap. Karena itu, sebagian besar rumah dinas akhirnya dikembalikan ke negara, sementara para anggota dewan pakai tunjangan itu untuk sewa rumah sendiri.

Soal kritik publik yang menilai DPR kurang peka dengan kondisi ekonomi rakyat, Sahroni menegaskan: “Kita ini pejabat publik. Banyak kegiatan bantuan dan empati kepada masyarakat, hanya saja tidak semua perlu dipublikasikan. Ada yang suka tampilkan, ada juga yang memilih diam. Prinsipnya, uang yang diterima anggota DPR juga kembali ke masyarakat.”

Meski begitu, ia mengakui kalau “persepsi negatif masyarakat terhadap tunjangan DPR tidak bisa dihindari.”

Katanya uang DPR “balik lagi ke masyarakat”, tapi masyarakat seringnya cuma merasakan baliknya dalam bentuk berita, bukan belanja harian yang jadi lebih murah. Jadi kalau logika ini dipakai, AC DPR yang nggak rusak memang lebih hemat—tapi AC di rumah rakyat kadang masih kepanasan.

Tunjangan Rp50 juta per bulan memang sah-sah saja secara aturan, tapi rasa-rasanya rakyat lebih pengen DPR juga rajin ngerawat kepercayaan publik. Itu sih “tunjangan” yang paling penting.