ManusiaSenayan.id – dah hampir dua dekade sejak Lapindo “bikin kolam renang” raksasa gratis di Sidoarjo, tapi warga Desa Gempolsari kayak masih tinggal di film horor episode ke-732. Tiap musim hujan, bukan cuma cuaca yang bikin galau—tapi juga was-was, takut tiba-tiba rumah hanyut bareng genangan lumpur rasa trauma.

“Rumah warga itu cuma selemparan kolor dari tanggul. Tanggulnya 11 meter, rumahnya di bawah. Kalau jebol? Habis, Bung,” kata Khusnul Kharim, Ketua BPD yang kayaknya udah jadi spesialis bencana dadakan.

FYI aja, tanggul yang katanya udah “dibentengi” sama PPLS itu pernah ambles dua kali. Bukan prank. Tahun 2018 dan 2020. Jadi walaupun sekarang kelihatan kokoh, warga tetap kayak mantan yang diselingkuhi dua kalisusah percaya lagi.

“Air di kolam lumpur itu kalau hujan deras, udah mirip laut lepas. Kita nggak tenang tidur, apalagi pas hujan,” lanjut Khusnul, mungkin sambil mikir, “Kapan ini tamatnya?

Belum cukup? Rumah warga juga banyak yang retak-retak. Dinding udah kayak puzzle, air sumur rasa asin plus warna kuning kunyit. Mandi? Lupakan. Minum? Bisa jadi konten YouTube challenge.

“Setiap hari harus beli air bersih. Rasanya hidup di planet lain,” katanya. Dan ketika musim hujan datang, banjirnya bukan cuma datang—tapi betah. Kayak mantan yang nggak move on.

Akar masalahnya? Katanya sih tanahnya turun. Tapi solusi dari pihak berwenang? Ya… kayak sinyal di hutannggak jelas, kadang muncul kadang hilang.

Dan yang bikin makin ngenes, mereka nggak punya pilihan buat pindah. Rumah udah kayak mau roboh, tapi tetap ditinggali. “Mau ke mana? Ini satu-satunya tempat yang kami punya,” tutup Khusnul. Bahkan bonusnya ada: nyamuk. Banyak. Lebih ramai dari konser.

Lapindo mungkin udah jadi sejarah nasional, tapi buat warga Gempolsari, ini bukan masa lalu—ini masa kini yang terus diputar ulang, kayak playlist galau pas tengah malam.