ManusiaSenayan.id – Produk pertanian dari Amerika Serikat masuk ke Indonesia kayak tamu undangan VIP: bea masuknya nol persen. Sementara produk kita ke sana? Masih kena tarif 19 persen. Ini kayak main bola, tapi gawang kita bolong dan wasitnya condong ke tim lawan.

Untungnya, Komisi VI DPR RI nggak tinggal diam. Mas Abdul Hakim Bafagih bilang, “Sektor pertanian tidak akan dibiarkan berhadapan langsung tanpa perlindungan. Bulog kita perkuat sebagai off-taker, IDFOOD sebagai operator distribusi nasional, sehingga hasil tani rakyat tetap terserap dengan harga layak.”

Jadi, pemerintah sekarang lagi bikin “tameng pertanian” dari hulu ke hilir: mulai dari memperkuat Bulog buat nyerap panen, sampai IDFOOD yang ngurusin distribusinya. Biar hasil panen nggak jadi korban promo harga.

Nggak cukup sampai situ. Sistem proteksi bakal dilengkapi modal, infrastruktur dingin, distribusi berbasis data, dan pasar lokal yang nggak dikuasai barang impor. Mas Hakim juga nambahin: “Kami akan pastikan dari petani hingga konsumen, ekosistem pertanian kita dibangun secara mandiri dan kuat. Bukan hanya sekadar tahan impor, tapi juga bisa ekspansi.”

Soal ketergantungan gandum dan kedelai? Diakui masih ada. Tapi katanya, “Ada beberapa komoditas yang memang belum bisa dipenuhi dari dalam negeri… Tapi kita punya strategi jangka panjang untuk menguranginya. Bahkan untuk substitusi impor seperti sorgum, sudah mulai dikembangkan.”

Indonesia juga pengen belajar dari Korea Selatan—yang meski lahannya sempit, hasil pertaniannya maksimal. Kuncinya? Teknologi dan kebijakan yang berpihak. Nah, semoga bukan cuma iri tapi bisa implementasi juga.

“Kita bukan menolak perdagangan terbuka, tapi kita juga harus berdiri di atas kepentingan petani kita,” tutup Mas Hakim.