ManusiaSenayan.id – Tahun ajaran baru, drama lama balik lagi. Bukan sinetron atau FTV, tapi season tahunan yang judulnya “Masuk Sekolah Penuh Air Mata.” Ketua DPR RI, Mbak Puan, sampe angkat suara, karena tiap tahun masalah pendaftaran murid baru kayak kaset rusak: “Setiap tahun, masalahnya nyaris sama, antrean sejak subuh, sistem digital yang error, data domisili yang dipertanyakan, hingga praktik pungutan liar yang kini bahkan diakui oleh kepala daerah,” makin terang-terangan kayak endorse skincare.
“Kondisi ini tidak bisa lagi dianggap sebagai gangguan musiman. Ini adalah krisis tata kelola yang dibiarkan rapuh selama bertahun-tahun,” kata Mbak Puan, dengan nada yang kayaknya udah capek nonton drama ini tiap tahun.
Sistem PPDB udah pensiun, sekarang diganti SPMB alias Sistem Pendaftaran Murid Baru. Tapi ganti nama nggak otomatis ganti nasib.
Orang tua frustrasi, anak-anak bingung, dan warga RT mendadak rame mindahin domisili buat ngejar sekolah favorit yang katanya “negeri tapi seleksi kayak swasta.”
Ada yang rumahnya cuma 300 meter dari sekolah, tapi gagal masuk. Ada juga yang tinggal di ujung gang galaksi, eh malah lolos. Ajaib? Nggak juga. Cuma hasil kreativitas ala sinetron: ganti KK, ganti alamat, demi kursi di sekolah hits.
Mbak Puan pun ngegas, bilang sistem ini lebih mirip lomba hoki ketimbang akses pendidikan yang adil. Dan kalau data bisa dimainin kayak game GTA, berarti bukan kita yang bangun sistem, tapi sistem yang nge-prank kita.
“Ketika anak-anak ditolak dari sekolah yang hanya berjarak ratusan meter dari rumah mereka karena sistem zonasi digital yang tidak masuk akal, maka yang dilukai bukan hanya rasa keadilan, tetapi juga masa depan,” tegas Mbak Puan.
Ia minta audit, penegakan hukum buat pelaku pungli, dan yang paling penting: pemerataan kualitas sekolah. Karena kalau cuma sekolah tertentu yang bagus, ya semua orang pasti ngincer situ. Kayak rebutan kursi konser K-Pop, tapi yang rugi masa depan anak.
“Hak anak untuk bersekolah bukanlah hak istimewa, itu hak konstitusional yang wajib dipenuhi negara. Tidak ada alasan bagi negara untuk gagal menyelenggarakan proses masuk sekolah dengan transparan, manusiawi, dan adil,” tutup beliau.