ManusiaSenayan.id – Punya gelar S1? Mantap! Tapi… kerjanya jadi buruh, sopir, atau asisten rumah tangga? Wah, selamat datang di Indonesia, negara yang makin plot twist urusan kerjaan.

Data terbaru dari BPS per Mei 2025 bilang, tingkat pengangguran terbuka di negeri +62 ini nembus 4,76%. Naik dari November 2024 yang “cuma” 4,40%. Dan kalau kalian pikir ini cuma angka, well… IMF juga ikut-ikutan kasih peringkat: Indonesia duduk manis di posisi kedua tertinggi pengangguran di Asia versi negara berkembang. Lumayan ya, bisa juara juga, walau bukan dalam hal yang kita mau.

Masalahnya klasik sih, angkatan kerja tiap tahun nambah mulu—kayak nasi pas ambil di prasmanan, gak pernah cukup. Tapi lowongan kerja? Seretnya minta ampun. Menurut pakar dari UGM, Tadjudin Noor Effendi, setiap pertumbuhan ekonomi 1% cuma bisa nyediain 200–300 ribu kerjaan. Sementara angkatan kerja yang masuk bisa sampai 3,5 juta orang. Jadi ya… ada 1 juta lebih orang yang kejebak di “zona nganggur nasional.”

Dan buat yang udah kerja pun, jangan senang dulu. Rata-rata upah buruh versi BPS Februari 2025 itu cuma 3,09 juta rupiah. Yup, di bawah UMR, gengs. Jadi kerja tuh bukan cuma soal dapat gaji, tapi juga belajar jadi tahan banting hidup dengan gaji pas-pasan.

Tapi yang paling pedih? Ijazah S1 sekarang udah kayak hiasan dinding doang. Mau lamar kerja? Dulu cukup ijazah, sekarang harus plus-plus: sertifikat, pelatihan, skill tambahan, mungkin juga bonus bisa juggling atau ngelawak biar dilirik HRD.

Makanya muncullah pasukan “pekerja gig.” Kerja serabutan, freelance sana-sini, jadi ojol pagi, content creator siang, terus malamnya jaga warung kopi temen. Hidup multitasking, demi bayar cicilan dan kuota.

Jadi, kalau sekarang kamu ngeliat sarjana jadi buruh, jangan kaget. Ini bukan gagal, ini realita. Dan siapa tahu, besok kamu juga dapat giliran.