ManusiaSenayan.id – Badan Gizi Nasional (BGN) sempat ngajuin ide ke Kemendikdasmen: pendidikan gizi masuk kurikulum sekolah. Harapannya, anak-anak nggak cuma tahu rasanya gorengan, tapi juga paham fungsi zat gizi buat tubuh.
“Tujuan utama dari langkah ini adalah menciptakan generasi Indonesia yang sehat, cerdas, dan berdaya saing,” kata Ikeu Tanziha, Dewan Pakar Gizi BGN.
Sayangnya, idenya ditolak. Pak Menteri Abdul Mu’ti bilang, nggak semua hal harus jadi mata pelajaran.
“Kalau nanti bentuknya mata pelajaran, ujung-ujungnya hanya pengetahuan tapi tidak menjadi perilaku… Jadi pendidikan itu adalah proses kita membentuk perilaku melalui kebiasaan dan pembiasaan,” kata Mu’ti.
Menurut beliau, program Makan Bergizi Gratis (MBG) udah cukup sebagai sarana belajar lewat praktik langsung. Tapi… gimana kalau yang dimakan nggak seimbang gizinya?
Nah, di sinilah Bu Lailatul Muniroh dari FKM Unair angkat suara. Menurutnya, MBG itu nggak bisa berdiri sendiri. Anak-anak harus ngerti kenapa mereka makan makanan tertentu, bukan asal kenyang.
“Anak-anak perlu tahu kenapa mereka harus makan makanan sehat, apa akibat dari kekurangan zat gizi makro maupun mikro,” jelasnya.
Bu Lailatul usul agar literasi gizi dimasukkan lewat pendidikan kontekstual. Misalnya, belajar gizi di pelajaran IPA, bikin puisi sayur di Bahasa Indonesia, atau bikin proyek menu sehat di PJOK.
“Kita tidak ingin anak-anak sekadar tahu nama sayur, tetapi memahami mengapa mereka harus memilihnya,” tegasnya.
Menurutnya, pendidikan gizi itu life skill, dan kalau diabaikan sekarang, anak-anak bakal bayar mahal nanti: dari stunting sampai penyakit metabolik.