ManusiaSenayan.id Lagi rame nih obrolan di Senayan, bukan soal bansos atau pemilu, tapi soal… sejarah. Iya, sejarah. Tapi tenang, ini bukan soal mantan, walau sama-sama suka dimanipulasi.

Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian, ngegas halus ke pemerintah soal niat penulisan ulang sejarah Indonesia. Intinya, jangan asal kasih label “sejarah resmi” atau “sejarah resmi baru”. Lah, sejarah kok kayak produk skincare? Ada versi original, terus keluar yang whitening edition?

Hetifah bilang, kalau mau nulis sejarah ulang, ajak dong semua pihak. Jangan nulis buru-buru kayak tugas esai semalam sebelum deadline. “Pelan-pelan aja, tapi pasti. Jangan sampai sejarah masa lalu jadi skrip baru buat sinetron masa kini,” gitu kira-kira vibe-nya.

Sementara itu, Bonnie Triyana dari PDIP juga ikut bersuara. Dia yang emang sejarawan asli, bukan sejarawan dadakan TikTok, bilang: “Istilah sejarah resmi’ itu nyeremin. Nanti orang-orang yang punya cerita beda dikira ilegal atau bahkan subversif. Nanya beda dikit, dibilang makar.”

Bonnie ngajak kita mikir bareng: sejarah tuh milik rakyat, bukan milik elit yang pengen nyetir narasi. “Kalau sejarah dipolitisasi, nanti masa depan kita malah ngikutin naskah yang salah cetak.”

Sementara itu, Menbud Fadli Zon coba klarifikasi. Katanya, “Bukan sejarah resmi kok, itu cuma penyebutan aja. Ini sejarah nasional.” Tapi tetep aja, rakyat udah keburu garuk-garuk kepala, “Lah bedanya apa, Bang?”

Intinya sih, rakyat cuma pengen satu: sejarah ditulis jujur. Mau pahit, getir, malu-maluin, atau bikin bangga—yang penting valid. Karena masa lalu bukan buat dibagus-bagusin, tapi buat dipelajari, biar nggak kejeblos lubang yang sama berkali-kali.

Jadi, kalau ada yang bilang sejarah resmi”, coba tanya balik: “Emang kita ini negara demokrasi, atau negara dongeng versi satu penerbit?”