ManusiaSenayan.id – Cikarang semrawut bukan karena kemacetan —tapi karena ribuan pencari kerja tumplek blek di satu titik, berebut barcode kayak lagi flash sale Handphone. Yup, Job Fair yang digelar Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi (27/5) berubah jadi ajang survival mode. Bukan buat promosi kerja layak, tapi semacam kompetisi: siapa cepat, dia yang bisa scan.

Nurhadi, anggota Komisi IX DPR RI, sampai garuk kepala (mungkin dalam hati) liat kekacauan ini. Katanya, ini bukan sekadar acara tahunan ala-ala potong pita terus bubar. Ini cermin, Bro. Cermin dari pengangguran struktural yang makin numpuk, kayak tugas akhir semester.

Bahwa job fair bukan sekadar ajang seremonial tahunan, melainkan representasi dari masalah besar bernama pengangguran struktural,” sindir Nurhadi (versi bebasnya). “Ini harusnya jadi bagian dari strategi jangka panjang. Bukan cuma event dadakan pas rakyat udah kepepet.”

Kericuhan kemarin katanya gegara scanner QR. Yup, rebutan QR kayak rebutan nasi kotak. Nurhadi bilang, ini bukti pemerintah daerah kurang siap. Masa iya, orang udah nganggur, disuruh ngantri panjang cuma buat scan kode doang?

Saran dia? Gak muluk. Job fair harusnya dibagi-bagi zonanya, minimal per kecamatan. Jangan sentralisasi kaya mall saat diskon. Dan please, evaluasi dong kecocokan kerjaan dengan skill rakyat. Jangan lulusan teknik dikasih lowongan “admin bisa Medsos.”

Kalau mismatch-nya parah, pelatihan vokasional dan bimbingan karier itu wajib, bukan bonus. “Job fair harus menjadi jalan keluar nyata menuju pekerjaan yang layak, aman, dan bermartabat. Bukan cuma seremonial,” imbuhnya.

Sementara itu, Bupati Bekasi, Ade Kuswara Kunang, bilang: tenang, ini baru permulaan. Job fair perdana ini buka 2.000 lowongan, tapi yang datang 25 ribu! Artinya, antusiasme tinggi, dan pengangguran juga tinggi.

Solusinya? “Ke depan, kita buka lagi. Harus lebih dari 2.000 lowongan,” kata Ade. Semoga next-nya gak kayak konser K-Pop tanpa panitia.