ManusiaSenayan.id – Drama politik terbaru di Senayan: Mahkamah Konstitusi (MK) mutusin buat misahin jadwal Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Katanya biar lebih rapi. Tapi menurut Ahmad Irawan dari Fraksi Golkar, ini bukan rapi-rapi, tapi udah kayak tirani konstitusi.

Putusan MK tersebut menunjukkan tirani Mahkamah Konstitusi yang nyata karena MK bertindak dengan pendapat dan hukumnya sendiri, tanpa memperhatikan lagi perlindungan terhadap konstitusi UUD 1945,” ujar Bang Irawan, yang langsung mengkritik putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu.

Menurut dia, MK harusnya sadar diri. Selama ini DPR dan Presiden udah nurut banyak putusan MK karena saling menghormati. Tapi kalau MK makin pede ngatur-ngatur tanpa diskusi, ya hubungan harmonis bisa retak, kayak pasangan LDR yang lupa chat balik.

“Sebaiknya MK melakukan otokritik. Penghargaan pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) kepada MK selama ini dengan menindaklanjuti banyak putusannya dilandasi atas penghormatan prinsip check and balances yang harus berlaku secara timbal balik sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi,” kata Bang Irawan. Dia minta MK juga punya respect balik ke pembentuk undang-undang. Jangan mentang-mentang pakai jubah hitam, semua keputusan boleh plot twist.

Sekarang, para partai lagi rame-rame ngopi bareng ngebahas langkah apa yang bakal diambil. Bahkan DPR ngajak MK dan pemerintah duduk satu meja. Bukan buat buka puasa bersama, tapi biar revisi UU Pemilu gak jadi jebakan Batman.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad udah mimpin rapat bareng menteri-menteri: ada Tito, Prasetyo, Supratman, sampe Ketua KPU Afifuddin. Semuanya kumpul, bahas soal satu negara dua pemilu yang kayak sinetron “Dunia Terbelah Dua”.

Singkatnya? MK main solo, DPR minta reuni. Karena kalau semua lembaga negara sibuk bikin konser masing-masing, rakyat bisa bingung: milih pemimpin atau nonton drama?