ManusiaSenayan.id – Di banyak cerita sukses, selalu ada fase “akar” yang membentuk seseorang jadi kuat. Buat Saan Mustopa, akar itu tumbuh dari dunia kampus. Di IKIP Bandung (sekarang UPI), Saan bukan mahasiswa yang hanya sibuk kuliah–pulang–tidur. Ia terjun ke organisasi mahasiswa, aktif bersuara, dan sering jadi penghubung kalau ada perbedaan pandangan di antara kelompok mahasiswa.
Di masa itu, Saan dikenal kritis terhadap isu-isu sosial, peka terhadap ketidakadilan yang menimpa masyarakat, dan punya keberanian menyuarakan aspirasi. Ia tumbuh jadi sosok aktivis yang nggak hanya bisa ngomong di ruang diskusi, tapi juga turun langsung memahami realitas masyarakat. Dari kampus, ia belajar seni mendengar sekaligus seni menggerakkan.
Aktivis yang Turun ke Masyarakat
Selepas dunia kampus, Saan nggak meninggalkan idealismenya. Ia tetap hadir di tengah masyarakat Karawang dan Jawa Barat, wilayah dengan denyut persoalan rakyat kecil yang kompleks: soal pangan, pekerjaan, dan akses ekonomi. Peka dan empati jadi modal utamanya.
Banyak orang bilang, Saan punya kelebihan: bisa ngomong dengan bahasa elite, tapi juga nyambung kalau duduk bareng petani dan buruh. Dari sinilah ia pelan-pelan mengasah cara berpolitik yang membumi, tapi tetap visioner.
Menanjak ke Senayan
Tahun 2009 jadi momentum penting. Saan berhasil lolos ke DPR RI lewat Partai Demokrat, membawa suara dari Jawa Barat. Di Senayan, ia tak hanya jadi “wakil formal”, tapi juga tetap menjaga ciri khasnya sebagai aktivis: vokal, kritis, dan konsisten memperjuangkan isu masyarakat.
Namun, politik itu dinamis. Saat Demokrat mulai goyah, Saan memilih jalan baru: bergabung dengan Partai NasDem. Keputusan ini bukannya bikin kariernya redup, malah jadi titik balik. Di NasDem, Saan dipercaya jadi Ketua DPW NasDem Jawa Barat, posisi strategis di provinsi dengan jumlah pemilih terbesar. Dari sinilah reputasinya makin kokoh, bukan hanya di Jabar tapi juga nasional.
Dari Aktivis ke Panggung Besar
Kini, karier Saan mencapai puncaknya. Ia bukan hanya anggota DPR, tapi juga dipercaya sebagai Wakil Ketua DPR RI (2024–2029). Posisi ini menempatkannya dalam lingkaran elite politik, di mana keputusan-keputusan penting negara lahir.
Bagi banyak orang, perjalanan ini adalah bukti transformasi: dari aktivis kampus yang kritis, menjadi politisi nasional dengan tanggung jawab besar. Tapi satu hal yang nggak berubah: kepekaan sosialnya. Bahkan di level puncak, Saan dikenal masih menjaga gaya “calm but firm”, tegas ketika memperjuangkan, tapi tetap membumi saat bicara isu rakyat.
Penutup
Cerita Saan Mustopa mengingatkan kita bahwa politik bukan cuma soal kursi atau jabatan, tapi tentang daya tahan idealisme. Dari ruang diskusi kampus hingga ruang sidang DPR, ia menjaga garisnya: kritis, peka, dan selalu berpihak pada masyarakat. Kini, dengan posisi strategis di Senayan, jalan yang dulu ia tempuh sebagai aktivis kampus menemukan panggung yang lebih besar.