ManusiaSenayan.id – Kalau ngomongin Free Trade Zone (FTZ) di Kepulauan Riau, bayangannya pasti Batam yang makin kinclong. Mall ada, pabrik jalan, investasi deras. Tapi ternyata, menurut Ketua Tim Kunjungan Spesifik Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, kondisi ini kayak film yang cuma pemeran utama doang yang dapat sorotan, sementara figuran cuma lewat sekilas.
“Free trade zone ini seharusnya memberi dampak merata. Namun berdasarkan paparan dari kepala daerah dan wakil gubernur, terlihat pertumbuhan ekonomi timpang. Batam maju, tapi Bintan dan Karimun tertinggal,” kata Dede Yusuf.
Masalahnya, pengelolaan FTZ ini posisinya unik. “Ada tumpang tindih kewenangan. Pemerintah daerah tidak bisa in charge langsung, karena badan pengelola itu langsung berhubungan dengan pusat,” jelasnya. Singkatnya, Pemda cuma kebagian jadi penonton pertandingan, sementara wasit sama pemainnya dipegang pusat.
Dede juga wanti-wanti soal efek domino. “Kalau pertumbuhan tidak merata, akan ada gap. Gap itu bisa memicu inflasi, perdagangan ilegal, narkoba, dan TPPO,” tegasnya. Jadi jangan salah, gap ekonomi itu bukan sekadar beda gaji, tapi bisa nyeret ke urusan yang jauh lebih ribet.
Karena itu, Komisi II DPR berkomitmen buat ngegas regulasi biar FTZ nggak jadi “Batam Only Club.” “Jangan sampai FTZ hanya menguntungkan satu wilayah saja. Semua daerah di Kepri harus merasakan dampaknya,” tutup Dede.
Jadi intinya, FTZ Kepri jangan kayak pesta ulang tahun di mana cuma anak sulung yang dapat kue, sementara adik-adiknya cuma kebagian balon. Semua harus ikut happy bareng, biar vibes ekonomi Kepri nggak timpang kanan-kiri.