By Phirman Rezha (Sekjen PP KAMMI 2017-2019).
Dulu kita teriak di jalan, sekarang kita masuk ke sistem. Yup, ini bukan plot twist sinetron politik, tapi realitas baru yang lagi dibentuk. Gue dan beberapa teman aktivis milih bergabung ke Partai Golkar. Kedengeran “berani banget”, ya? Tapi ini bukan keputusan dadakan. Ini hasil mikir panjang, bukan karena ikut-ikutan atau asal masuk partai.
Salah satu yang bikin kita yakin: sosok Bahlil Lahadalia. Dia bukan lahir dari keluarga elite atau konglomerat. Dia tumbuh dari bawah, aktivis jalanan, keras kepala soal idealisme, tapi tetap bisa sampai ke posisi puncak. Dan yang paling penting: dia gak lupa akar perjuangannya.
Buat kita yang hidup dari dunia gerakan, ini relate banget. Tahun 2004 aja, udah ada jejak aktivis gabung Golkar—ingat Bang Nusron, Bang Lutfi, Bang Alun, Bang Simanjuntak, Bang Melki. Sekarang giliran kita. Dan ya, Bang Akbar Tanjung juga masih jadi saksi hidup regenerasi ini.
Di tengah banyak orang skeptis sama sistem, kami justru pengen nunjukkin: perubahan bisa kok dari dalam. Asal yang masuk bukan orang kosong, tapi yang punya visi dan integritas. Ngomong doang soal perubahan gak cukup—harus berani masuk gelanggang dan ikut ngatur jalannya pertandingan.
Golkar sekarang beda. Bahlil ngajak kita bukan cuma buat numpang nama. Dia kasih ruang, semangat, bahkan bilang, “Bangsa ini butuh anak muda yang bukan cuma bisa ngomong, tapi juga bisa kerja nyata.” Di bawah dia, kaderisasi gak lagi elitis. Yang dinilai bukan siapa yang kenal siapa, tapi siapa yang bisa apa. Meritokrasi, gengs!
Kita sadar, politik itu gak sebersih diskusi di forum kampus. Tapi kalau kita semua terus berdiri di luar, kapan sistemnya berubah? Aktivisme gak harus selalu teriak dari luar pagar. Kadang, masuk ke dalam dan ubah dari dalam jauh lebih berdampak.
Buat teman-teman aktivis yang udah memutuskan bergabung: salut. Ini bukan pengkhianatan idealisme, tapi lanjutan perjuangan dengan cara baru. Dan buat yang masih mikir-mikir: gak apa-apa, jalan kita beda-beda, tapi tujuannya tetap sama—bikin Indonesia lebih baik.
Politik itu alat. Tinggal kita mau pakai buat apa. Dan sekarang, kami pilih buat pake alat itu buat perjuangan, bukan cuma kekuasaan.