ManusiaSenayan.id – Lombok Barat lagi panas, bukan karena cuaca, tapi gara-gara sejumlah tenaga honorer diputus kontrak sepihak oleh pemerintah daerah. Banyak dari mereka yang sudah belasan tahun ngantor, tiba-tiba disuruh “move on” dengan solusi super inovatif: ikut job fair!
Masalahnya, job fair-nya kayak playlist Spotify — isinya campur aduk, tapi nggak semua cocok sama selera (atau dalam kasus ini, kemampuan).
Salah satu honorer, Yudi Himawan, curhat ke DPRD, katanya lowongan yang ditawarkan banyak yang nggak nyambung sama keahlian mereka. “Jangan kasih job fair doang dong, itu kan di luar kualifikasi kami,” ujarnya dengan nada campur antara kecewa dan lelah.
Bener juga sih. Kalau lowongannya buat fresh graduate, gimana nasib yang udah “fresh-nya expired”? Yudi sendiri sempat kerja di bagian Sekda, tapi malah ikut kena imbas pemutusan kontrak karena nggak masuk “database”. Bayangin, udah 15 tahun ngabdi, tiba-tiba dianggap nggak ada datanya. Kayak chat mantan yang udah dihapus dari riwayat WA.
Ada juga honorer lain, sebut saja L, yang mengaku nangis pas tahu dirinya dipecat. Gajinya dulu cuma Rp900 ribu sebulan, tapi sekarang malah kehilangan semuanya. Jadi, katanya sih “sedih banget”. Ya iyalah, siapa yang nggak?
Sementara itu, pihak pemerintah lewat Kadisnaker Lalu Martajaya pede banget bilang job fair-nya keren. “Lowongan luar negeri banyak, ada perawat, ada pengasuh lansia,” katanya.
Masalahnya, bukan semua orang siap langsung pindah negara cuma karena Pemkab bilang “posisinya bagus-bagus kok.”
Yang lebih absurd, Martajaya juga ngaku nggak tahu berapa banyak honorer yang terserap. Alasannya? “Nggak bisa dikulik datanya.” Lah, data honorer aja bisa ilang, apalagi data job fair?
Akhirnya, solusi buat honorer Lombok Barat terdengar kayak janji diet setelah Lebaran — niatnya bagus, tapi realisasinya entah kapan.

 
											 
							 
							 
							 
							