ManusiaSenayan.id – Di saat pesta demokrasi tahun lalu yang penuh warna, baliho segede truk boks, spanduk menyelimuti tiang listrik, dan pose caleg ala selebgram, satu nama justru mencuri perhatian lewat jalan sunyi tanpa gambar wajah: Ismail Bahtiar.

Lahir di Arasoe, Sulawesi Selatan, pada 3 Juli 1992, Ismail bukan sekadar politisi muda. Ia adalah anggota DPR RI 2024–2029 dari Dapil Sulawesi Selatan II (Bone, Soppeng, Wajo, Bulukumba, Sinjai, Selayar) yang terpilih tanpa memasang baliho seabrek saat kampanye. Jumlah suara yang diraihnya? 63.688 suara sah. Bukan hasil marketing visual, tapi hasil dari konsistensi turun langsung ke masyarakat.

“Saya tidak pasang satu baliho pun. Tidak kampanye terbuka. Saya hanya datang ke masyarakat, berdialog langsung, menyampaikan niat saya,” ujar Ismail, dikutip dari detik.com (26 Juni 2024).

Kontestan lain sibuk mikir font dan ukuran wajah, Ismail justru fokus ngobrol sama warga, mendengar keluhan, dan menawarkan solusi. Di balik kesederhanaannya, CV-nya mencolok: S.K.M. dari Universitas Hasanuddin, M.M. dari AMKOP Business School, dan kini juga dosen di Politeknik Nusantara Makassar. Ia pernah duduk di DPRD Sulsel (2014–2019) dan menjadi CEO Teman Belajar (2019–2022). Rekam jejak sosialnya panjang—dari mendirikan Rektor Institute hingga menjadi Ketua Dewan Pembina empat yayasan sekaligus di 2024.

Penghargaan pun nggak sedikit: mulai dari Santripreneur Award, Wirausaha Muda Mandiri, sampai Curriculum Vitae Terbaik LPDP. Gaya politiknya rapi, kinerjanya tertata, dan kiprahnya konsisten dalam organisasi kepemudaan dan dakwah—seperti KAMMI, HMI, hingga Himpunan Dai Muda Indonesia.

Kini, Ismail duduk di Komisi VI DPR RI dan aktif di Badan Urusan Rumah Tangga (BURT). Di bawah kepemimpinan Puan Maharani dan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, ia membawa misi: politik pelayanan, bukan pencitraan.

Strategi sunyi Ismail jadi pelajaran mahal buat para caleg ke depan: ternyata rakyat nggak butuh wajah di baliho, tapi wakil yang mau turun langsung dan ngerti kebutuhan.

Karena nyatanya… suara rakyat tetap bisa nyaring, bahkan tanpa spanduk dan senyum tempelan.