ManusiaSenayan.id – Dunia musik Indonesia lagi-lagi berisik, tapi bukan karena lagu baru, melainkan gara-gara drama royalti yang belum kelar juga. Udah berbulan-bulan, topiknya itu-itu aja: LMKN alias Lembaga Manajemen Kolektif Nasional, lembaga yang katanya ngurus royalti musik tapi sekarang malah digugat balik oleh para pencipta lagu.

Yang turun tangan bukan orang sembarangan — ada Ari Bias, Ryan Kyoto, Ali Akbar, Obbie Messakh, sampai Eko Saky. Mereka kompak bilang: “Udah cukup! LMKN ini udah kelewat nada.” Karena menurut mereka, lembaga itu udah melenceng dari partitur Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Dalam musyawarah di Pasar Minggu (ya, beneran di Pasar Minggu, bukan metafora), para musisi sepakat buat menggugat ke Mahkamah Agung. Targetnya: PP Nomor 56 Tahun 2021 dan Permenkum Nomor 27 Tahun 2025. Gugatan pun resmi didaftarkan 27 Oktober 2025 — jadi ini bukan cuma konser kecil, tapi tur hukum skala nasional.

Ali Akbar menegaskan kalau masalah utama bukan di lagu, tapi di LMKN dan cara lahirnya. Menurut dia, dalam UU Hak Cipta nggak ada tuh pasal yang nyuruh menteri bikin LMKN. Harusnya yang ada itu LMK (Lembaga Manajemen Kolektif), yang dibentuk oleh para musisi sendiri, bukan oleh pejabat kementerian yang mungkin aja masih bingung bedain “royalti” sama “royalty-free music”.

Lebih parahnya, isi LMKN sekarang katanya didominasi ASN (Aparatur Sipil Negara), bukan para pencipta lagu. Jadi, yang ngatur duitnya musisi justru orang yang mungkin aja nggak tahu gimana rasanya manggung dibayar nasi kotak.

Ari Bias pun nyeletuk pedas, “Mereka bilang tanggung jawabnya ke menteri, bukan ke kami, para pencipta lagu. Lah, yang punya lagunya siapa?”

Singkatnya, musisi-musisi ini udah capek denger nada fals dari pengelolaan royalti. Mereka pengen sistem yang transparan, adil, dan sesuai partitur hukum. Soalnya, gimana mau “hidup dari karya”, kalau lembaga yang ngurusin justru bikin hidup makin drama?

Dunia musik Indonesia lagi-lagi berisik, tapi bukan karena lagu baru, melainkan gara-gara drama royalti yang belum kelar juga. Udah berbulan-bulan, topiknya itu-itu aja: LMKN alias Lembaga Manajemen Kolektif Nasional, lembaga yang katanya ngurus royalti musik tapi sekarang malah digugat balik oleh para pencipta lagu.

Yang turun tangan bukan orang sembarangan — ada Ari Bias, Ryan Kyoto, Ali Akbar, Obbie Messakh, sampai Eko Saky. Mereka kompak bilang: “Udah cukup! LMKN ini udah kelewat nada.” Karena menurut mereka, lembaga itu udah melenceng dari partitur Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Dalam musyawarah di Pasar Minggu (ya, beneran di Pasar Minggu, bukan metafora), para musisi sepakat buat menggugat ke Mahkamah Agung. Targetnya: PP Nomor 56 Tahun 2021 dan Permenkum Nomor 27 Tahun 2025. Gugatan pun resmi didaftarkan 27 Oktober 2025 — jadi ini bukan cuma konser kecil, tapi tur hukum skala nasional.

Ali Akbar menegaskan kalau masalah utama bukan di lagu, tapi di LMKN dan cara lahirnya. Menurut dia, dalam UU Hak Cipta nggak ada tuh pasal yang nyuruh menteri bikin LMKN. Harusnya yang ada itu LMK (Lembaga Manajemen Kolektif), yang dibentuk oleh para musisi sendiri, bukan oleh pejabat kementerian yang mungkin aja masih bingung bedain “royalti” sama “royalty-free music”.

Lebih parahnya, isi LMKN sekarang katanya didominasi ASN (Aparatur Sipil Negara), bukan para pencipta lagu. Jadi, yang ngatur duitnya musisi justru orang yang mungkin aja nggak tahu gimana rasanya manggung dibayar nasi kotak.

Ari Bias pun nyeletuk pedas, “Mereka bilang tanggung jawabnya ke menteri, bukan ke kami, para pencipta lagu. Lah, yang punya lagunya siapa?”

Singkatnya, musisi-musisi ini udah capek denger nada fals dari pengelolaan royalti. Mereka pengen sistem yang transparan, adil, dan sesuai partitur hukum. Soalnya, gimana mau “hidup dari karya”, kalau lembaga yang ngurusin justru bikin hidup makin drama?