ManusiaSenayan.id — Lagi-lagi, kisah klasik dari dunia ojol: dapet order, ngebut, panas-panasan, tapi pas liat saldo, yang tebal cuma potongannya. Kali ini, Komisi V DPR RI ngamuk—eh, maksudnya kritik keras—soal pemotongan biaya jasa oleh para aplikator transportasi online.
Anggota DPR Reni Astuti buka suara, katanya aturan sih bilang maksimal potong 15%, ditambah 5% buat “kesejahteraan”. Tapi kenyataannya? Ada yang bilang udah tembus 40-50%. Waduh, ini aplikator atau lintah digital?
“Katanya sih nggak lebih dari 20%. Tapi driver bilang beda. Ada yang saldo tinggal debu,” ujar Reni dengan nada yang setengah kasihan, setengah kesel. Dia nuntut audit, biar transparan. Soalnya kayaknya banyak driver bingung, potongannya buat apa aja. Pajak? Platform fee? Ongkos ke Mars?
Di sisi lain, Adian Napitupulu nggak kalah geregetan. Dia heran, potongan di luar aturan kok bisa muncul kayak jamur habis hujan. “Ada potongan aplikasi Rp 2.000, Rp 3.000, terus biaya bandara, biaya lokasi. Lah, ini dari mana dasar hukumnya?” tanya Adian. “Jangan-jangan ojol juga harus bayar biaya nafas sebentar lagi.”
Dan soal 5% “kesejahteraan”? Kata Adian, sampai sekarang driver belum tahu itu uangnya ngapain aja. “Dari 2022 loh! Duitnya di mana? Kesejahteraan model apa sih yang dimaksud?” sambungnya. Jangan-jangan cuma kesejahteraan aplikator doang.
Kemenhub? Kayak biasa, jawabnya: “Itu bukan domain kami.” Kata Direktur Angkutan Jalan Muiz Thohir, urusan audit itu ranahnya Kominfo—eh, sekarang Komunikasi dan Digital alias Kemkomdigi. Jadi Kemenhub cuma bisa nyusun harga, nggak bisa ngasih sanksi.
Singkatnya: driver ojol lagi dicukur tiap hari, DPR marah-marah, Kemenhub lepas tangan, dan aplikator? Ya tetap potong komisi sambil update fitur baru: “Auto Sedot Saldo.”
Kalau begini terus, bukan cuma helm ojol yang hijau. Hatinya juga. Tapi lebih karena iri liat aplikator terus untung, sementara mereka makin kurus—secara finansial.