ManusiaSenayan.id – Kebijakan pendidikan gratis udah kayak slogan minuman kemasan: segar didengar, tapi pas dicicip, banyak yang kaget sama rasanya. Salah satunya: Slamet Ariyadi, anggota BAM DPR RI, yang habis muter-muter DIY dan nemu fakta menarik—atau lebih tepatnya, fakta yang bikin dahi berkerut.
Katanya, “Di DIY ini lebih dominan minatnya masyarakat itu menyekolahkan anaknya itu di lembaga swasta yang memang kapasitas daya tampungnya lebih besar, 50% lebih besar.” Tapi masalahnya, kebijakan “gratis” dari pusat masih kayak sinyal internet di pelosok: belum jelas juntrungannya.
Slamet ngebela sekolah swasta, bukan karena cinta kapitalisme, tapi karena gak semua swasta itu doyan komersialisasi. Banyak juga yang dikelola yayasan, pesantren, dan lembaga sosial. Nah, kalau kebijakan gratis ini cuma menyentuh sekolah negeri, yang swasta bisa jadi korban PHP kebijakan.
Dia juga ngasih warning ke pemerintah pusat: jangan cuma lempar wacana tanpa kirim petunjuk teknis. Di daerah, termasuk Pemda DIY, lagi pada nungguin regulasi kayak anak tungguin jatah uang jajan.
“Siap tidak siap mereka harus siap. Mereka tinggal menunggu aturan secara teknis di internal Pemda DIY tersendiri untuk menyinkronkan dengan pemerintah kabupaten kota” kata Slamet. Tapi siap tanpa SOP itu kayak disuruh masak rendang tapi bumbunya dikasih setengah. Gimana gak gosong?
Intinya, Slamet pengen ada sinkronisasi antara pusat dan daerah, biar jangan ada disparitas biaya antara sekolah negeri, swasta, maupun pesantren. Karena kalau cuma setengah matang, yang dikorbanin tetap murid dan orang tua.
Jadi, jangan cuma gratis di baliho, tapi mahal di realita. Biar semua anak, entah di sekolah negeri, swasta, atau pesantren, tetap bisa belajar tanpa harus mikir bayar SPP sambil nyicil Indomie.