ManusiaSenayan.id – Di negeri antah berantah bernama Sebakis, Kalimantan Utara—ada satu drama klasik yang belum tamat sejak 2011: penyeberangan penuh derita. Antara Sebakis dan Pembeliangan, cuma dipisahkan sungai selebar 100 meter. Tapi buat nyebrang? Biayanya bisa bikin dompet nangis darah.
Acho, abang sembako setempat, curhat pedih ke wartawan, “Sudah lama begini, Bang. Masa iya 100 meter doang enggak bisa dibuat jembatan? Ini kayak LDR tapi nggak pernah ada niat ketemu.”
Buat yang penasaran, perjalanan nyebrang ini cuma makan waktu dua menit. Tapi biayanya? Lebih mahal dari tiket konser Coldplay.
“Bensin kapal paling habis setengah gelas, tapi saya bolak-balik bisa habis Rp 500 ribu. Kayak langganan siksaan,” lanjut Acho pedagang sebakis sambil menghitung receh.
Ini bukan kisah sedih satu orang doang. Puluhan kendaraan tiap hari ikutan naik wahana ini demi bisa nyambung hidup. Kalau jembatan hadir, ekonomi warga bisa naik kelas—dari jalan di tempat, jadi bisa lari-lari kecil.
FYI, Sebakis itu kayak pulau kecil yang dipeluk erat sama kebun sawit, dan dihuni banyak warga transmigran. Jadi bukan tempat wisata, tapi vibe-nya tetap eksotis.. dengan rasa getir.
Sejak 2011, warga setempat hidup bareng kapal kayu buat nyebrang. Kapalnya nggak bakal jalan sebelum dapat penumpang cukup. Kendaraan? Ada kapal khusus. Tapi tetap aja, rasa was-was itu nyata.
Menurut Dishub Nunukan, wilayah penyeberangan ini dulunya punya PT Adindo Hutani Lestari. Tadinya cuma buat angkut kayu. Eh, sekarang malah jadi jalan umum versi ‘bayar suka-suka yang punya kapal’.
“Kami masih cari tahu ini legal apa ilegal. Yang jelas, pemerintah daerah enggak pernah kasih izin resmi,” ujar Amin dari Dishub, sambil bingung sendiri.
Warga sih enggak butuh drama investigasi panjang. Mereka cuma minta satu hal: jembatan nyata, bukan janji politik saat kampanye tiba.