ManusiaSenayan.id – Si bidadari laut Indonesia—tiba-tiba masuk FYP bukan karena sunset magisnya, tapi karena “surga dunia” ini nyaris disulap jadi “surga alat berat.” Kok bisa? Ya bisa lah, kalau tambang nikel dikasih karpet merah kayak tamu kehormatan.
Ketua PB HMI, Bang Rifyan, ngamuk santai. Katanya, “Pulau tersebut masuk dalam jenis pulau-pulau kecil, sehingga berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tersebut, diperintahkan untuk tidak melakukan aktivitas pertambangan.”
“Sikap tegas Menteri ESDM penting, menurut saya. Aktivitas apa pun yang bertentangan dengan undang-undang, di Raja Ampat saat ini harus dihentikan selamanya,” lanjut Rifyan.
Sementara itu, dari balik layar kementerian, Pak Menteri ESDM Bahlil tampil bak komentator sepak bola: “Ini semua gara-gara asing!” Lah, padahal yang demo warga lokal, aktivis lingkungan, dan mahasiswa. Nggak ada bule-bule bawa spanduk tuh.
M. Muham Tashir dari PB PMII juga ikut nambahin mic drop: “**Pernyataan tersebut adalah bentuk pengalihan isu yang mencederai kepedulian masyarakat lokal dan aktivis lingkungan yang selama ini konsisten menyuarakan perlindungan Raja Ampat,” ujar Ketua PB PMII Bidang OKP, Kemahasiswaan, LSM, dan Ormas, M. Muham Tashir.
“Kami sangat kecewa dengan sikap pemerintah, khususnya Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Alih-alih hadir sebagai pelindung kepentingan ekologis dan masyarakat adat, beliau justru tampil dengan respons reaktif dan pernyataan yang tidak solutif,” tegasnya.
Lucunya, tambangnya tetap ngegas, pulau kecil tetap dikeruk, dan UU tetap jadi pajangan. Yang bahagia? Investor dan ekskavator. Yang nangis? Terumbu karang dan warga lokal.
Warga udah nggak minta banyak. Cuma satu: hentikan tambang, cabut izin, dan jangan ngeles pakai teori konspirasi. Karena, percayalah, Raja Ampat bukan tempat buat main tambang-tambangan. Itu tempat buat main snorkeling, bukan ngebor nikel.
Jadi, pemerintah, dengerin deh: “Jangan jadikan laut jernih jadi ladang kering. Nikel bisa dicari, Raja Ampat nggak bisa dicopy-paste.”